SERI ADAB ISLAM 6 : ADAB-ADAB BERBICARA BAG.1

 



السلام عليكم ورحمة الله وبركاته

Bismillah

DALIL-DALIL : 

وَلاَ تَقْفُ مَا لَيْسَ لَكَ بِهِ عِلْمٌ إِنَّ السَّمْعَ وَالْبَصَرَ وَالْفُؤَادَ كُلُّ أُولـئِكَ كَانَ عَنْهُ مَسْؤُولاً 

Dan janganlah kamu mengikuti apa yang kamu tidak mempunyai pengetahuan tentangnya. Sesungguhnya pendengaran, penglihatan dan hati, semuanya itu akan diminta pertanggungan jawabnya. (Al-Israa  : 36). 

Di Antara Adab-Adab Berbicara 

1. Menjaga Lisan 

Hendaklah seorang muslim memperhatikan lisannya dengan sebaik-baik perhatian; menghindari perkataan batil, perkataan dusta, ghibah, adu domba, dan perkataan keji. Ringkasnya, hendaklah ia menjaga lisannya dari segala hal yang diharamkan oleh Allah dan Rasul-Nya. 

Seseorang mungkin mengucapkan suatu kalimat yang akan mencelakakan hidupnya di dunia dan juga akhirat. Dan, mungkin juga ia mengucapkan suatu kalimat di mana dengan kalimat tersebut Allah akan mengangkatnya beberapa derajat. Dalil yang menunjukkannya adalah sabda beliau :

 إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مَا يَتَبَيَّنُ فِيهَا يَزِلُّ بِهَا فِي النَّارِ أَبْعَدَ مِمَّا بَيْنَ الْمَشْرِقِ. (رواه البخاري) 

“Sesungguhnya seorang hamba mengucapkan kalimat tanpa diteliti yang karenanya ia terlempar ke neraka sejauh antara jarak ke timur.” 

أَبْعَدَ مَا بَيْنَ الْمَشْرِقِ وَالْمَغْرِبِ. (رواه مسلم) 

Lebih jauh melenihi jarak antara timur dan barat. (HR.Al-Bukhari (no.5996), dan lafazh hadits diatas menurut riwayat beliau, Muslim (no.5303),  dan Ahmad (no.8703)). 

Disebutkan juga dalam riwayat Ahmad :

 إِنَّ الرَّجُلَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ يُضْحِكُ بِهَا جُلَسَاءَهُ يَهْوِي بِهَا مِنْ أَبْعَدِ مِنْ الثُّرَيَّا. (رواه أحمد) 

“Seorang laki-laki mengatakan suatu kalimat yang dengannya ia ingin menjadi bahan tertawaan orang-orang disekelilingnya, maka ia akan masuk ke dalam neraka sejauh bintang-bintang di langit.” (Al-Musnad (no.8852)). 

Sebagaimana suatu kalimat bisa menjadi sebab kemurkaan Allah, maka demikianlah pula suatu kalimat bisa menjadi sebab pengangkatan derajat dan kebahagiaan. Beliau bersabda :

 إِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ رِضْوَانِ اللَّهِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَرْفَعُهُ اللَّهُ بِهَا دَرَجَاتٍ وَإِنَّ الْعَبْدَ لَيَتَكَلَّمُ بِالْكَلِمَةِ مِنْ سَخَطِ اللَّهِ لَا يُلْقِي لَهَا بَالًا يَهْوِي بِهَا فِي جَهَنَّمَ. (رواه البخاري) 

“Sungguh seorang hamba akan mengucapkan sebuah kalimat yang diridlai Allah, suatu kalimat yang ia tidak mempedulikannya, namun dengannya Allah mengangkatnya beberapa derajat. Dan sungguh, seorang hamba akan mengucapkan sebuah kalimat yang dibenci oleh Allah, suatu kalimat yang ia tidak meperdulikannya, namun dengannya Allah melemparkannya ke dalam neraka Jahanam”. (HR.Al-Bukhari (no.5997), dan lafazh di atas adalah lafazh riwayat beliau, Ahmad (no.8206), Malik (no.1849) dengan lafazh yang berbeda dengan lafazh al-Bukhari dan Ahmad).. 

Dan, dalam pertanyaan Mu’adz bin Jabal kepada Rasulullah tentang amalan yang akan memasukkan seseorang ke dalam surga dan menjauhkannya dari api neraka,Nabi menyebutkan rukun-rukun Islam dan beberapa pintu kebaikan. Kemudian beliau bersabda :

 أَلَا أُخْبِرُكَ بِمَلَاكِ ذَلِكَ كُلِّهِ قُلْتُ بَلَى يَا نَبِيَّ اللَّهِ فَأَخَذَ بِلِسَانِهِ قَالَ كُفَّ عَلَيْكَ هَذَا فَقُلْتُ يَا نَبِيَّ اللَّهِ وَإِنَّا لَمُؤَاخَذُونَ بِمَا نَتَكَلَّمُ بِهِ فَقَالَ ثَكِلَتْكَ أُمُّكَ يَا مُعَاذُ وَهَلْ يَكُبُّ النَّاسَ فِي النَّارِ عَلَى وُجُوهِهِمْ أَوْ عَلَى مَنَاخِرِهِمْ إِلَّا حَصَائِدُ أَلْسِنَتِهِمْ. (رواه الترمذي) 

“Maukah kamu aku kabarkan dengan sesuatu yang menguatkan itu semua?” Aku menjawab; ‘Ya, wahai Nabi Allah.’ Lalu beliau memegang lisannya, dan bersabda: “‘Tahanlah (lidah) mu ini.” Aku bertanya; ‘Wahai Nabi Allah, (Apakah) sungguh kita akan diadzab disebabkan oleh perkataan yang kita ucapkan? ‘ Beliau menjawab; “(Celakalah kamu) ibumu kehilanganmu wahai Mu’adz, Tidaklah manusia itu disunggkurkan ke dalam neraka di atas muka atau hidung mereka melainkan karena hasil ucapan lisan mereka?” (HR.at-Tirmidzi (no.2541), dan beliau berkata : Hadits ini Hasan Shahih, Ahmad (no.21511), dan  Ibnu Majah (no.3973)). 

Bahkan tidak hanya sebatas ini saja. Rasulullah telah memberikan jaminan surga bagi siapa yang bisa menjaga lisan dan juga kemaluannya. Beliau bersabda :

 مَنْ يَضْمَنْ لِي مَا بَيْنَ لَحْيَيْهِ وَمَا بَيْنَ رِجْلَيْهِ أَضْمَنْ لَهُ الْجَنَّةَ. (رواه البخاري) 

Barangsiapa dapat menjamin bagiku sesuatu yang berada di antara jenggotnya (mulut) dan di antara kedua kakinya (kemaluan), maka aku akan menjamin baginya surga.” (HR.Al-Bukhari dari hadits Sahl bin Sa’d  (no.5993), Ahmad (no.22316), dan at-Tirmidzi (no.2408) dengan perbedaan dalam lafaz-lafazhnya)).

 عَنْ أَبِي سَعِيدٍ الْخُدْرِيِّ لَا أَعْلَمُهُ إِلَّا رَفَعَهُ قَالَ إِذَا أَصْبَحَ ابْنُ آدَمَ فَإِنَّ أَعْضَاءَهُ تُكَفِّرُ لِلِّسَانِ تَقُولُ اتَّقِ اللَّهَ فِينَا فَإِنَّكَ إِنْ اسْتَقَمْتَ اسْتَقَمْنَا وَأَنْ اعْوَجَجْتَ اعْوَجَجْنَا. (رواه أحمد) 

Faidah : dari Abu Sa’id Al Khudri -aku tidak mengetahui kecuali bahwa ia telah memarfu`kannya-, beliau bersabda: “Apabila manusia berada pada waktu pagi, maka seluruh anggota tubuhnya mengatakan kepada lisannya; ‘Bertakwalah kamu kepada Allah, sebab kami tergantung kepadamu, apabila kamu lurus maka kamipun akan lurus dan apabila kamu melenceng, kamipun akan melenceng.” (HR.Ahmad (no.11472) dan lafazh diatas adalah lafazh beliau. Pentahqiq al-Musnad berkata : Sanadnya Hasan. (XVIII/402),(No.11908) dan At-Tirmidzi (no.no.2407)). 

Makna kalimat : Anggota badannya menegur lisan, bahwa seluruh anggota badannya tunduk dan merendah di hadapan lisan, serta taat kepadnya. Wahai lisan, jika engkau lurus maka kamipun akan lurus, dan jika engkau menyelisihi dan menympang dari jalan yang lurus, kami pun akan mengikutimu. Maka, bertakwalah engkau kepada Allah untuk kami. (Lisanul ‘Arab (V/150),topik : kafara). 

Riwayat ini tidak bertentangan dengan sabda beliau :

 عَنْ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ يَقُولُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ أَلَا وَإِنَّ فِي الْجَسَدِ مُضْغَةً إِذَا صَلَحَتْ صَلَحَ الْجَسَدُ كُلُّهُ وَإِذَا فَسَدَتْ فَسَدَ الْجَسَدُ كُلُّهُ أَلَا وَهِيَ الْقَلْبُ. (رواه البخاري) 

Dari An Nu’man bin Basyir berkata; aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ketahuilah pada setiap tubuh ada segumpal darah yang apabila baik maka baiklah tubuh tersebut dan apabila rusak maka rusaklah tubuh tersebut. Ketahuilah, ia adalah hati”.(HR.Al-Bukhari (no.50), dan Muslim (no.1599)). 

Ath-Thibi (dalam Tuhfatul Ahwadzi (VII/75) dengan sedikit perubahan) mengatakan : Lisan adalah penerjemah hati dan penggantinya di bagian tubuh yang Nampak. Jika suatu perkara disandarkan kepadanya maka ia menjadi majaz dalam hukum. Seperti perkataan : Dokter menyembuhkan seorang yang sakit. Al-Maidani berkata tentang sabda beliau : Seseorang tergantung kepada dua hal kecil yang ada pada dirinya, kedua hal tersebut adalah hati dan lisan. Maknanya, kepribadian seseorang akan benar dan menjadi sempurna dengan dua hal tersebut. 


2. Ucapkan Perkataan Yang Baik Atau Diamlah 

Adab Nabawi yang berupa perkataan bagi orang-orang yang ingin berbicara yaitu hendaklah mereka berbicara dengan pelan dan memikirkan perkataan yang hendak ia ucapkan. Jika perkataan itu baik maka baik pula untuk dikatakan maka hendaklah ia mengatakannya. Jika perkataan itu buruk maka hendaklah ia tidak mengatakannya, dan hal itu baik baginya.

 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ مَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلَا يُؤْذِ جَارَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيُكْرِمْ ضَيْفَهُ وَمَنْ كَانَ يُؤْمِنُ بِاللَّهِ وَالْيَوْمِ الْآخِرِ فَلْيَقُلْ خَيْرًا أَوْ لِيَصْمُتْ. (رواه البخاري) 

dari Abu Hurairah dia berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Barangsiapa berimana kepada Allah dan hari Akhir, janganlah ia mengganggu tetangganya, barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaknya ia memuliakan tamunya dan barangsiapa beriman kepada Allah dan hari Akhir hendaknya ia berkata baik atau diam.” (HR.Al-Bukhari (no.6018), dan lafazh diatas adalah lafazh beliau, Muslim (no.47), Ahmad (no.75751)). 

Sabda beliau : hendaknya ia berkata baik atau diam, Ibnu Hajar berkata : Sabda beliau ini termasuk jawami’ul kalim (perkataan yang singkat namun maknanya padat), karena setiap perkataan bisa berupa kebaikan, keburukan dan bisa pula bermuara kepada salah satu dari keduanya. Termasuk dalam cakupan kebaikan adalah semua yang dituntut dari setiap perkataan yang wajib atau sunnah, jenisnya boleh berbeda, dan termasuk ke dalamnya setiap perkataan yang bermuara kepadanya. Adapun selain itu maka ia adalah keburukan atau bermuara kepada suatu keburukan, maka di saat hendak memperdebatkannya diperintahkan untuk diam. (Fat-hul Bari (X/461)). 


3. Kalimat Yang Baik Adalah Shadaqah 

Hadits Abu Hurairah yang telah dibahas sebelumnya menunjukkan kepada kita bahwa seseorang dierintahkan untuk berbicara yang baik-baik atau diam. Kemudian syari’at menyukai pembicaraan yang baik karena di dalamnya terkandung dzikir kepada Allah, kebaikan untuk agama dan dunia mereka dan kebaikan di antara sesama mereka.. dan selainnya dari hal-hal yang bermanfaat. Dan, balasan yang diberikan atasnya adalah mendapatkan pahala.

 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهُ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كُلُّ سُلَامَى مِنْ النَّاسِ عَلَيْهِ صَدَقَةٌ كُلَّ يَوْمٍ تَطْلُعُ فِيهِ الشَّمْسُ يَعْدِلُ بَيْنَ الِاثْنَيْنِ صَدَقَةٌ وَيُعِينُ الرَّجُلَ عَلَى دَابَّتِهِ فَيَحْمِلُ عَلَيْهَا أَوْ يَرْفَعُ عَلَيْهَا مَتَاعَهُ صَدَقَةٌ وَالْكَلِمَةُ الطَّيِّبَةُ صَدَقَةٌ وَكُلُّ خُطْوَةٍ يَخْطُوهَا إِلَى الصَّلَاةِ صَدَقَةٌ وَيُمِيطُ الْأَذَى عَنْ الطَّرِيقِ صَدَقَةٌ. (رواه البخاري) 

dari Abu Hurairah radliallahu ‘anhu berkata; Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Setiap ruas tulang pada manusia wajib atasnya shadaqah dan setiap hari terbitnya matahari seseorang yang mendamaikan antara dua orang yang bertikai adalah shadaqah dan menolong seseorang untuk menaiki hewan tunggangannya lalu mengangkat barang-barangnya ke atas hewan tungganyannya adalah shadaqah dan ucapan yang baik adalah shadaqah dan setiap langkah yang dijalankan munuju shalat adalah shadaqah dan menyingkirkan sesuatu yang bisa menyakiti atau menghalngi orang dari jalan adalah shadaqah”. (HR.Al-Bukhari (no.2767), dan lafazh diatas adalah lafazh beliau, Muslim (no.1009), dan Ahmad (no.27400)). 

Terkadang suatu kalimat yang baik akan menjauhkan orang yang mengucapkannya dari api neraka.

 عَنْ عَدِيِّ بْنِ حَاتِمٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ ذَكَرَ النَّارَ فَأَشَاحَ بِوَجْهِهِ فَتَعَوَّذَ مِنْهَا ثُمَّ ذَكَرَ النَّارَ فَأَشَاحَ بِوَجْهِهِ فَتَعَوَّذَ مِنْهَا ثُمَّ قَالَ اتَّقُوا النَّارَ وَلَوْ بِشِقِّ تَمْرَةٍ فَمَنْ لَمْ يَجِدْ فَبِكَلِمَةٍ طَيِّبَةٍ. (رواه البخاري) 

dari Adi bin Hatim, bahwasanya Nabi Shallallahu’alaihiwasallam pernah memperbincangkan neraka, kemudian beliau memalingkan wajahnya dan berllindung diri daripadanya, kemudian beliau memperbincangkan neraka dan beliau memalingkan wajahnya seraya meminta perlindungan daripadanya, selanjutnya beliau bersabda: “Jagalah diri kalian dari neraka sekalipun hanya dengan setengah biji kurma, siapa yang tak mendapatkannya, ucapkanlah yang baik.” (HR.Al-Bukhari (no.6078), dan lafazh diatas adalah lafazh beliau, Muslim (no.1016), dan Ahmad (no.17782) tanpa menyebutkan penggalan hadits yang terakhir, dan an-Nasa’i (no.2553)). 


4. Keutamaan Sedikit Bicara Dan Makruhnya Banyak Bicara

 عَنْ الْمُغِيرَةِ بْنِ شُعْبَةَ عَنْ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ اللَّهَ عَزَّ وَجَلَّ حَرَّمَ عَلَيْكُمْ عُقُوقَ الْأُمَّهَاتِ وَوَأْدَ الْبَنَاتِ وَمَنْعًا وَهَاتِ وَكَرِهَ لَكُمْ ثَلَاثًا قِيلَ وَقَالَ وَكَثْرَةَ السُّؤَالِ وَإِضَاعَةَ الْمَالِ. (رواه مسلم) 

dari Mughirah bin Syu’bah dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Sesungguhnya Allah ‘azza wajalla mengharamkan kalian mendurhakai seorang ibu, mengubur anak perempuan hidup-hidup, dan tidak suka memberi dan suka meminta-minta. Dan membenci atasmu tiga perkara; mengatakan sesuatu yang tidak jelas sumbernya, banyak bertanya dan menyia-nyiakan harta.” (HR.Muslim (no.3237)). 

Sabda beliau : Dan dia membenci kalian mengutip perkataan, yaitu tenggelam dalam kabar dan cerita-cerita orang tentang keadaan dan perbuatan mereka yang tidak mengandung manfaat. Demikian yang dikatakan oleh Imam an-Nawawi. (Syarh an-Nawawi (jilid VI (XII/10)). 

Banyak bicara adalah perbuatan tercela dalam syariat.

 عَنْ جَابِرٍ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ إِنَّ مِنْ أَحَبِّكُمْ إِلَيَّ وَأَقْرَبِكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ أَحَاسِنَكُمْ أَخْلَاقًا وَإِنَّ أَبْغَضَكُمْ إِلَيَّ وَأَبْعَدَكُمْ مِنِّي مَجْلِسًا يَوْمَ الْقِيَامَةِ الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ وَالْمُتَفَيْهِقُونَ قَالُوا يَا رَسُولَ اللَّهِ قَدْ عَلِمْنَا الثَّرْثَارُونَ وَالْمُتَشَدِّقُونَ فَمَا الْمُتَفَيْهِقُونَ قَالَ الْمُتَكَبِّرُونَ. (رواه الترمذي) 

dari Jabir bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Sesungguhnya di antara orang yang paling aku cintai dan yang tempat duduknya lebih dekat kepadaku pada hari kiamat ialah orang yang akhlaknya paling bagus. Dan sesungguhnya orang yang paling aku benci dan paling jauh tempat duduknya dariku pada hari kiamat ialah orang yang paling banyak bicara (kata-kata tidak bermanfaat dan memperolok manusia).” Para shahabat bertanya, “Wahai Rasulullah, kami tahu apa itu ats-tsarsarun, dan juga al-mutasyaddiquun, tetapi apa itu al-mutafaihiqun?? ” Nabi menjawab: “Yaitu orang-orang yang angkuh (sombong).” (HR.at-Tirmidzi (no.1941), dan lafazh diatas adalah lafazh beliau. At-Tirmidzi mengatakan : Hadits hasan gharib, Ahmad dari Abu Tsa’labah al-Khusyani (no.17278)}. 

ats-tsarsarun : {Dalam al-Lisan, ats-tsartsaar al-mutasyaddiq artinya banyak bicara…Dan, ats-tsarsarah minal kalam adalah banyak bicara dan sering diulang-ulang… Dikatakan, laki-laki tsartsaar, wanita tsartsaarah, dan suatu kaum tsatsaaaruun. Diriwayatkan dari Nabi bahwa beliau bersabda : Apa yang paling aku benci di antara kalian adalah ats-tsartsaaruun dan al-mutafaiqihuun.” Yaitu mereka yang banyak bicara dan berlebihan dalam berbicara sehingga menyimpang dari kebenaran. (IV/102), topik : ثرر}. 


Faidah :  Abu Hurairah berkata : Tidak  ada kebaikan dalam perkataan yang berlebihan. Umar bin al-Khaththab mengatakan : Barangsiapa yang banyak bicara maka ia akan sering tergelncir. 

Ibnul Qasim mengatakan : Aku telah mendengar dari Malik, ia berkata : Tidak ada kebaikan dalam banyak bicara, dan itu merupakan tingkah laku kaum wanita dan anak-anak. Tingkah laku mereka selamanya adalah berbicara dan tidak pernah diam …. 


5. Peringatan Akan Ghibah Dan Namimah (Mengadu Domba) 

Ghibah : Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam telah menerangkan dalam sabda beliau : Menyebutkan perihal saudaramu dengan sesuatu yang dibencinya. Disebutkan dalam hadits :

 عَنْ أَبِي هُرَيْرَةَ أَنَّ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ قَالَ أَتَدْرُونَ مَا الْغِيبَةُ قَالُوا اللَّهُ وَرَسُولُهُ أَعْلَمُ قَالَ ذِكْرُكَ أَخَاكَ بِمَا يَكْرَهُ قِيلَ أَفَرَأَيْتَ إِنْ كَانَ فِي أَخِي مَا أَقُولُ قَالَ إِنْ كَانَ فِيهِ مَا تَقُولُ فَقَدْ اغْتَبْتَهُ وَإِنْ لَمْ يَكُنْ فِيهِ فَقَدْ بَهَتَّهُ. (رواه مسلم) 

dari Abu Hurairah bahwa Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam pernah bertanya: “Tahukah kamu, apakah ghibah itu?” Para sahabat menjawab; ‘Allah dan Rasul-Nya lebih tahu.’ Kemudian Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: ‘Ghibah adalah kamu membicarakan saudaramu mengenai sesuatu yang tidak ia sukai.’ Seseorang bertanya; ‘Ya Rasulullah, bagaimanakah menurut engkau apabila orang yang saya bicarakan itu memang sesuai dengan yang saya ucapkan? ‘ Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam berkata: ‘Apabila benar apa yang kamu bicarakan itu ada padanya, maka berarti kamu telah menggunjingnya. Dan apabila yang kamu bicarakan itu tidak ada padanya, maka berarti kamu telah membuat-buat kebohongan terhadapnya.’ (HR.Muslim (no.4690), Ahmad (no.7106), at-Tirmidzi (no.1934) Abu Dawud (no.4874) dan ad-Darimi (no.2714) dengan sedikit perbedaan dalam lafazh-lafaznya)). 

Dan, ukuran yang disebut ghibah adalah setiap apa yang engkau sampaikan kepada orang lain tentang kekurangan seorang muslim, maka itu termasuk ghibah yang diharamkan. (Al-Adzkar karya an-Nawawi (hal.486)). 

Adapun namimah (mengadu domba), para ulama mengatakan : Namimah adalah mengutip perkataan sebagian orang lalu disampaikan kepada sebagian lainnya dengan tujuan menginginkan terjadinya kerusakan di antara mereka. (An-Nawawi Syarh Muslim, jilid I (II/93)). 

Syari’at ini didatangkan untuk menyatukan kalimat, menyatukan hati, berbaik sangka kepada orang lain dan mengucapkan perkataan yang benar dan baik… Sedangkan setan selalu berusaha mencerai-beraikan persatuan, memisahkan hati sebagian orang dengan sebagian lainnya, berburuk sangka kepada orang lain dan mengucapkan perkataan yang batil dan buruk.

 عَنْ جَابِرٍ قَالَ سَمِعْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ إِنَّ الشَّيْطَانَ قَدْ أَيِسَ أَنْ يَعْبُدَهُ الْمُصَلُّونَ فِي جَزِيرَةِ الْعَرَبِ وَلَكِنْ فِي التَّحْرِيشِ بَيْنَهُمْ. (رواه مسلم) 

dari Jabir berkata: Aku mendengar nabi Shallallahu ‘alaihi wa Salam bersabda: “Sesungguhnya setan telah putus asa untuk disembah orang-orang yang shalat dijazirah arab, tapi ia mengadu domba diantara mereka.” (HR.Muslim (no.5030), Ahmad (no.13957), 

dan at-Tirmidzi (no.1937). makna hadits diatas bahwa setan telah berputus asa menggoda para penduduk jazirah Arab untuk menyembahnya, akan tetapi setan senantiasa berusaha menghasut mereka dengan permusuhan, kebencian,peperangan,menebar fitnah dan lain sebagainya. Demikian yang dikatakan oleh Imam an-Nawawi. 

Ghibah dan Namimah adalah salah satu benih kebencian dan permusuhan yang ditanamkan di tengah-tengah manusia. Dan, Allah telah mengabarkan tentang setam bahwa dia adalah musuh kita. Seorang musuh selamanya tidak akan menghendaki kebaikan pada diri kita (dan hal itu tidak diragukan lagi) dan Allah telah memerintahkan kita untuk memusuhi dan memeranginya.

 إِنَّ الشَّيْطَانَ لَكُمْ عَدُوٌّ فَاتَّخِذُوهُ عَدُوًّا إِنَّمَا يَدْعُو حِزْبَهُ لِيَكُونُوا مِنْ أَصْحَابِ السَّعِيرِ 

Sesungguhnya syaitan itu adalah musuh bagimu, maka anggaplah ia musuh(mu), karena sesungguhnya syaitan-syaitan itu hanya mengajak golongannya supaya mereka menjadi penghuni neraka yang menyala-nyala. (Faathir  : 6). 

Ghibah dan Namimah termasuk salah satu senjata Iblis dan kelompoknya untuk mencerai-beraikan manusia. Dan, mereka menanamkan kebencian di hati sebagian manusia terhadap sebagian lainnya. Dan, keduanya termasuk penyakit yang akan membinasakan individu serta mencerai-beraikan jama’ah.

 Akan kita sebutkan sebagian dalil yang berkaitan dengan keduanya. Dan, seseorang yang mendapatkan taufiq adalah yang menundukkan hatinya kepada kebenaran serta menjaga lisannya terhadap makhluk Allah.

 وَلَا تَجَسَّسُوا وَلَا يَغْتَب بَّعْضُكُم بَعْضًا أَيُحِبُّ أَحَدُكُمْ أَن يَأْكُلَ لَحْمَ أَخِيهِ مَيْتًا فَكَرِهْتُمُوهُ وَاتَّقُوا اللَّهَ إِنَّ اللَّهَ تَوَّابٌ رَّحِيمٌ 

Dan janganlah mencari-cari keburukan orang dan janganlah menggunjingkan satu sama lain. Adakah seorang diantara kamu yang suka memakan daging saudaranya yang sudah mati? Maka tentulah kamu merasa jijik kepadanya. Dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Penerima Taubat lagi Maha Penyayang. (Al-Hujurat : 12).

 وَعَنْ أَبِي بَرْزَةَ الْأَسْلَمِيِّ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَا مَعْشَرَ مَنْ آمَنَ بِلِسَانِهِ وَلَمْ يَدْخُلْ الْإِيمَانُ قَلْبَهُ لَا تَغْتَابُوا الْمُسْلِمِينَ وَلَا تَتَّبِعُوا عَوْرَاتِهِمْ فَإِنَّهُ مَنْ اتَّبَعَ عَوْرَاتِهِمْ يَتَّبِعُ اللَّهُ عَوْرَتَهُ وَمَنْ يَتَّبِعْ اللَّهُ عَوْرَتَهُ يَفْضَحْهُ فِي بَيْتِهِ. (رواه أبوا داود) 

Dan dari Abu Barzah Al Aslami ia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Wahai orang-orang yang beriman dengan lisannya namun keimanannya belum masuk ke dalam hatinya, janganlah kalian mengumpat seorang muslim dan jangan pula mencari-cari kesalahannya. Sebab siapa saja yang mencari-cari kesalahan mereka, maka Allah akan mencari-cari kesalahannya. Maka siapa saja yang Allah telah mencari-cari kesalahannya, Allah tetap akan menampakkan kesalahannya meskipun ia ada di dalam rumahnya.” (HR. Abu Dawud (no.4236). dan lafazh di atas adalah lafazh riwayat beliau.  Syaikh al-Albani mengatakan : Hasan Shahih, dan Ahmad (no.19277)).

  عَنْ أَبِي وَائِلٍ عَنْ حُذَيْفَةَ أَنَّهُ بَلَغَهُ أَنَّ رَجُلًا يَنُمُّ الْحَدِيثَ فَقَالَ حُذَيْفَةُ سَمِعْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَقُولُ لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ نَمَّامٌ. (رواه مسلم) 

dari Abu Wa’il dari Hudzaifah bahwa telah sampai kepadanya, bahwa seorang laki-laki mengadu domba suatu pembicaraan, maka Hudzaifah berkata, “Saya mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Tidak akan masuk surga orang yang suka mengadu domba’.” (HR.Al-Bukhari (no.6056), Muslim (no.151), dan lafazh diatas adalah lafazh riwayat beliau,  dan Ahmad (no.22814), at-Tirmidzi (no.20206) dan Abu Dawud (no.4879)). 


Faidah : Ghibah dibolehkan dalam enam keadaan : 

  1. Ketika terjadi ketidakadilan, maka dibolehkan bagi orang yang dizhalimi untuk mengadukan ketidakadilan yang ia alami kepada penguasa, hakim atau selain keduanya yang memang berwenang (memiliki pemerintahan) atau ingin berlaku adil kepada orang yang menzhalimi. 

  2. Meminta pertolongan untuk merubah kemungkaran, dan mengembalikan kemaksiatan kepada kebenaran. Kepada orang yang ia harapkan dengan kekuasaannya untuk menghilangkan kemungkaran, hendaklah ia mengucapkan : Si fulan telah berbuat demikian, maka ia pun mengasingkannya dan sejenisnya, dengan maksud menjadikannya sebagai perantara untuk menghilangkan kemungkaran. Tetapi, jika tidaka bermaksud demikian maka hal itu diharamkan. 
  3. Meredakan masalah. Ia berkata kepada mufti (pemberi fatwa) : Ayahku telah menzhalimiku, atau saudaraku… Dan semisalnya, maka hal ini dibolehkan sesuai dengan kebutuhan. Akan tetapi, hendaklah berhati-hati dengan mengatakan : Apakah yang engkau katakana kepada laki-laki atau seseorang kejadiannya demikian?? Yang mana dengannya tujuan akan tercapai tanpa adanya ketentuan yang pasti. Dengan demikian, penentuan tersebut dibolehkan. 
  4. Memperingatkan kaum muslimin dari keburukan dan menasehati mereka… Termasuk pula menjarh kaum yang memiliki sifat cacat, baik para perawi hadits atau para saksi. Di antaranya pula bermusyawarah untuk menjalin kekerabatan dengan seseorang… asalkan tujuan dari semua itu adalah untuk nasihat. Dan, dalam masalah inilah seringnya terjadi kesalah fahaman. Terkadang seorang pembicara terbawa oleh rasa dengki atas hal-hal tersebut, dan setan mengaburkannya. Setan pun menampakkan seolah-olah hal tersebut merupakan nasihat, maka haruslah lebih dicermati. 
  5. Jika yang dibicarakan adalah seseorang yang menampakkan perbuatan fasiknya atau bid’ahnya, seperti seseorang yang terang-terangan meminum khamr, menyakiti orang banyak, memungut cukai, mengambil pajak dari harta orang lain, dan melakukan perkara-perkara bathil maka dibolehkan menyebutkannya karena perbuatan itu dilakukannya terang-terangan. Namun, diharamkan menyebutkan aib-aib lainnya, kecuali karena sebab yang diperbolehkan sebagaimana yang telah kami sebutkan. 
  6. Untuk tujuan identifikasi. Apabila seseorang lebih terkenal dengan suatu julukan, seperti al-A’masy (yang penglihatannya kabur), al-A’raj (yang kakinya pincang), al-Ashamm (yang tuli), al-A’maa (yang buta), al-Ahwal (yang matanya juling) dan lain sebagainya. Maka, dibolehkan mengidentifikasi mereka dengan julukan tersebut. Dan, diharamkan menggunakan julukan tersebut secara mutlak menghinanya. Dan, sekiranya mungkin bisa mengidentifikasinya selain dengan julukan itu, maka hal tersebut lebih utama, (Riyadhus Shalihin (450-451) dengan perubahan)). 

Faidah lainnya : Tindakan yang sepatutnya dilakukan oleh seseorang yang mengetahui namimah :

  1. Tidak membenarkannya, Karena orang yang membawa namimah adalah seorang yang fasik.
  2. Melarangnya dari perbuatan tersebut kemudian menasehatinya, dan mencela apa yang dilakukannya tersebut. 
  3. Membencinya karena Allah, karean orang yang melakukan namimah adalah orang yang dibenci oleh Allah. Dan, membenci seseorang yang Allah benci adalah wajib. 
  4. Tidak berprasangka buruk kepada saudaranya yang tidak berada dihadapannya. 
  5. Segala cerita yang sampai kepadanya tidak mendorongnya untuk mencari-cari dan membahas kabar tersebut. 
  6. Tidak meridhai bagi dirinya apa yang dilarangnya bagi pelaku namimah. Maka, janganlah ia menceritakan suatu namimah darinya dengan megatakan : Fulan menceritakan demikian, sehingga ia pun akhirnya menjadi pelaku namimah. Dengan begitu ia melakukan sesuatu yang ia dilarang melakukannya. 

Inilah akhir perkataan Abu Hamid al-Ghazali. Semua yang berkaitan dengan namimah ini dilarang jika tidak mengandung maslahat syar’iyyah. Namun, jika hak itu memang dibutuhkan, maka tidak mengapa disampaikan. Demikian yang dikatakan oleh Imam an-Nawawi. (Syarh Shahih Muslim (jilid I (II/92-94)). 


6. Larangan Menceritakan Setiap Apa Yang Ia Dengar 

Setiap perkataan yang ia dengar dari orang-orang ada yang benar dan ada juga yang dusta. Jika seseorang menceritakan setiap apa yang didengarnya, maka pastilah ia akan menceritakan sesuatu yang dusta. Dengan inilah seorang yang menceritakan setiap apa yang didengarnya dikategorikan orang yang menyampaikan kedustaan.

 عَنْ حَفْصِ بْنِ عَاصِمٍ قَالَ قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَفَى بِالْمَرْءِ كَذِبًا أَنْ يُحَدِّثَ بِكُلِّ مَا سَمِعَ. (رواه مسلم) 

dari Hafsh bin Ashim dia berkata, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda: “Cukuplah seseorang (dianggap) berbohong apabila dia menceritakan semua yang dia dengarkan.” (HR.Muslim (no.6), dalam al-Muqaddimah, dan lafazh diatas adalah lafazh riwayat beliau, dan Abu Dawud (no.4992)). 

Bersambung ke poin no.7-10. 

Digubah dan diringkas secara bebas oleh ustadz Abu Nida Chomsaha Shofwan, Lc., dari buku Kitabul ‘Adab karya Fuad bin Abdil Aziz asy-Syalhub. 




Komentar

Postingan populer dari blog ini

Shiratal Mustaqim, Petunjuk Jalan yang Lurus

BELAJAR DIAM DAN BELAJAR BERBICARA

Dzikir-Dzikir Yang Shahih Setelah Shalat (Bag.2)